Ancam Kebebasan Pers, Komunitas Pers di Kota Lubuklinggau Tolak Revisi UU Penyiaran

- 29 Mei 2024, 17:03 WIB
Sejumlah jurnalis berunjuk rasa menolak pembahasan revisi UU Penyiaran karena dinilai cacat prosedur dan merugikan publik.
Sejumlah jurnalis berunjuk rasa menolak pembahasan revisi UU Penyiaran karena dinilai cacat prosedur dan merugikan publik. /Didik Suhartono/ANTARA

MUSIANAPEDIA.com - Revisi terhadap Undang-Undang Penyiaran yang akan dilakukan oleh DPR bertujuan untuk mencegah pers melakukan investigasi terhadap suatu kasus
yang terjadi.

Tentunya, revisi terhadap ditolak oleh seluruh komunitas pers yang ada di Indonesia, mulai tingkat nasional, regional dan daerah.

Dikota Lubuklinggau, Koordinator Komunitas Pers Bersatu Bersama Jurnalis (BBJ) Media Group, Pranata Meksiko menilai ada prosedur yang salah dalam penyusunan RUU Penyiaran. Ditambah, proses yang salah ini disertai pula dengan munculnya pasal-pasal aneh yang tidak se-prinsip dengan kemerdekaan pers.

Baca Juga: Tiga Lokasi Ini Bakal Dikunjungi Presiden Jokowi di Lubuklinggau!!! Masyarakat Bisa Merapat

"Misalnya yang menjadi sorotan semua rekan-rekan jurnalis, yakni di pasal 50b ayat 2c, karena secara spesifik melarang penayangan konten eksklusif jurnalisme investigasi. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers," tegas Pranata saat ditemui di Sekretariat BBJ, Selasa (28/5/2024) petang.

Jurnalis media Radar Silampari ini menjelaskan, UU Pers 40 Tahun 1999 sudah diatur bahwa kerja pers dilindungi oleh UU. Maka tentu RUU Penyiaran bertentangan dengan hal itu. Menurutnya, pelarangan ini juga jelas berpotensi membatasi hak publik untuk mendapatkan informasi.

"Ini juga melanggar kepentingan publik, karena haknya publik untuk tahu adalah hak asasi manusia. Tugas itu amanah dan dititipkan kepada jurnalis," kata dia.

Masalah lain, ialah Pasal 42 ayat 2 yang memberikan kewenangan lebih kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik penyiaran.

"Di pasal itu KPI bisa menangani sengketa. Itu barang tentu bertentangan dengan UU 40 tahun 1999 tentang Pers, sebab dimana fungsi dari Dewan Pers menyelesaikan sengketa pers. Jadi disini ada tumpang tindih. Ada banyak sekali pasal dalam RUU Penyiaran yang bermasalah.

Ditambah, menurut Pranata ada lagi masalah terkait hilangnya aturan terkait kepemilikan media. Ia menilai ini merupakan pasal yang membahayakan demokratisasi konten, termasuk juga kedepan akan mengancam perlindungan terhadap kelompok minoritas.

"RUU ini berpotensi mengancam independensi jurnalis dan media. Revisi ini dapat digunakan untuk menekan media agar berpihak kepada pihak-pihak tertentu. Merusak independensi media dan keberimbangan pemberitaan, seperti termuat dalam draf Pasal 51E," tegasnya.

Pranata menegaskan, BBJ Media Group sebagai komunitas pers menuntut dan menyerukan, agar memastikan bahwa setiap regulasi yang dibuat harus sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan kebebasan pers.

"Kami percaya bahwa kebebasan pers dan kebebasan berekspresi adalah hak asasi manusia yang harus dijaga dan dilindungi. Kami menduga RUU Penyiaran ini bakal jadi alat pemerintah untuk melemahkan praktik demokrasi di Indonesia. Patut diduga juga menjadi upaya pemerintah untuk membangkitkan semangat Orde Baru. Kalau dulu Orde Baru menggunakan militer dan aparatur keamanan sebagai alat untuk membungkam. Kami menduga metode ini berubah dengan membatasi ruang gerak melalui undang-undang. Dengan adanya revisi UU Penyiaran ini yang kemudian isinya melarang jurnalisme investigasi dan sebagainya, tentu sangat dicurigai akan ada upaya-upaya agar masyarakat tidak kritis terhadap pemerintah," tegasnya. ***

Editor: Aan Sangkutiyar


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah